Monday, October 15, 2007

aku dan pencil kecilku

Di sela derunya kereta api malam itu, aku tiup lilin ulang tahunku. Walau jumlah lilinnya tidak berjumlah tujuh, tidak berada di atas kue tart coklat berlapis pasta yang ditaburi krim dan dihiasi buah chery. Tetap aku bersyukur.

Ibu dan Ayah tersenyum, berusaha untuk menghadirkan semangat kegembiraan pada malam ini. Angin dingin kukuh ingin menembus dinding kardus yang tertata rapi. Dingin memang, namun tak juga mengusir senyum kami sekeluarga. Ibu dan Ayah memaksa, ayo buat satu permohonan. Tak pernah kukira kalau sebaris permohonankulah yang akan mengusir senyum di wajah Ibu dan Bapakku.

"Ya tuhan, aku ingin sekali sekolah supaya bisa pintar!."
Walau aku tidak pintar, aku punya keinginan kuat untuk belajar. Aku akan sekolah di pagi hari, keluar sekolah langsung berjualan koran, setelah itu membantu bapak memilih dan memilah sampah.

Keinginanku betul-betul terwujud. Aku masuk sekolah berkat program pemerintah yang sedang memberantas buta huruf, akhirnya aku bisa sekolah. Malamnya di sela sinar lampu minyak yang temaram ibu menitikan airmatanya ketika memberikan seragam sekolah yang berhasil ia mintakan dari majikannya. tak lupa bapak memberikan pencil dan buku, kupeluk keduanya.

Tibalah hari pertamaku sekolah. Sebuah tas bahan sudah bertengger di bahu kananku. Sekolahku sekolah negeri, konon katanya orang-orang berlomba untuk bisa sekolah di sekolah negeri, karena lebih murah dan juga pengajarnya berkualitas. Hari pertama adalah perkenalan, pembacaan peraturan kelas dan buku apa saja yang dipakai.

Aku langsung akrab dengan Tedi, jarak rumahnya dengan rumahku sekitar 2 kilometer, Tedi terhitung orang yang mapan, semua buku pelajaran langsung dimilikinya.

Sudah dua minggu sekolah Senin ini aku harus mengumpulkan tugas untuk pelajaran Bahasa Indonesia yang selalu memberikan PR (Pekerjaan Rumah). Gurunya selalu sibuk, kata teman-teman ibu guru itu hebat lulusan luar negeri jadi selalu sibuk. Minggu ini beliau masuk. memeriksa tugas-tugas yang diserahkan, semuanya dikoreksi. Aku suka guru yang seperti ini. Kali ini dia memberikan tugas yang soal-soalnya ada di buku hal. 143. Keluar sekolah seperti biasa aku selalu memberi tahu Tedi aku akan kerumahnya. Hal ini selalu aku lakukan jika ada tugas. Setelah selesai berdagang aku berjalan menuju rumah Tedi. sesampainya disana aku salin semua soal tugas yang ada dalam LKS (Lembar Kerja Siswa). Kembali kutempuh dua kilo jalan aspal berdebu. satu teko air pasti sudah menanti di rumah. nikmat sudah kureguk air, Bapak yang sedang sibuk memilah bagai memanggil dengan kebisuannya. Lekas segera kubantu dia, secercah senyum keluar dari bibir kering ketika kusodorkan cuntang berisi air.

Di sela lampu minyak temaram aku isi soal-soal yang ku salin, soal terakhir adalah mengarang bebas tiga paragraf, menjelang paragraf kedua sinar lampu minyak mulai mengecil, tanda waktu semakin menipis, ibu sudah mengatur jatah minyak untuk lampu dan semuanya harus dipatuhi, minyak sekarang susah didapat, menjelang pagi akupun tertidur titik. Ibu membangunkanku disela adzan subuh yang masih membahana, suara halusnya bagai halilintar memaksa kantuk bergegas pergi. kumasukan semua tugas ke dalam tas, sampai di sekolah ibu guru mengumpulkan semua tugas. Anak-anak menunggu. Akhirnya tugas yang sudah diberi nilai dibagikan. Entah kenapa hanya punyaku yang tidak ada nilainya, pada akhirnya. Setelah kelas usai kutanyakan perihal ini. Ternyata permasalahannya sepele, bukan karena tugasku terlalu banyak salah akan tetapi karena tugasku ditulis tidak menggunakan pulpen, hanya itu.

***

Sekolah tampak lenggang, proses belajar-mengajar berlangsung seperti biasa, ibu guru mulai sadar ada satu bangku yang kosong selama tiga hari. Tedi pun dipanggil ke ruang guru ketika jam pelajaran usai. Tanpa basa-basi ibu guru menanyakan perihal Randi kepada Tedi. Tedi tak tahu-menahu, selain pertemuan tiga hari yang lalu, ketika randi menyalin soal dirumahnya. Ibu guru tertegun, mengumpulkan serpihan kenyataan dan pupusnya harapan dikarenakan sebuah pulpen. Jika saja ia tahu bagaimana perjuangan Randi untuk menyelesaikan tugas darinya. Jika saja ia mengerti apa yang ingin randi katakan di sela matanya yang membengkak karena dipaksa dalam sinar temaram lampu minyak. Randi mungkin miskin tapi bukan berarti hak dia untuk belajar dan membaca menjadi hilang.

untuk kawan-kawanku
miskin bukan kutukan
tapi keadaan yang harus kita ubah.
ciputat 15 oktober 2007

Friday, September 21, 2007

--UkIrAn-- Chapter 2

Minggu ini kami kelas 5 akan bertamasya ke ke hutan, untuk melakukan observasi pelajaran Biologi. Tamasya itu akan dilaksanakan hari Jum’at jam 09.00 pagi. Bapak guru memberitahukan apa saja yang harus dibawa untuk perjalanan besok.
“setiap anak harus membawa :
Lembar kerja siswa.
Peralatan tulis.
Papan berjalan.
Kaca Pembesar.
Botol Pembungkus, bisa juga kantong plastik bening.
Pipet.
Buku biologi
Air minum pribadi.
Makan siang pribadi.
Makanan kecil.
dan lotion anti nyamuk.” Ucap Pak Guru di depan kelas
setelah dibacakan pak guru menuliskannya kembali di papan tulis. Aku dan teman-teman menyalinnya juga di dalam buku. Pak guru pernah mengatakan, kalau belajar agar tidak cepat lupa sebaiknya dicatat, Bel sekolah berdentang. Tanda waktu belajar di sekolah telah habis. Pak guru mengucapkan salam dan mengingatkan agar jangan ada yang terlupakan besok. Pak guru termenung sebentar.
“besok datangnya agak lebih pagi ya, kita kumpul dulu sebentar untuk membicarakan cara observasi di hutan nanti.” Dengan nada khawatir, pak guru mengucapkannya.
Teman-teman yang sedang membereskan buku sudah tidak lagi memperhatikan pak guru. Keinginan mereka hanyalah pulang, karena memang jam di sekolah sudah habis. Dalam suasana yang suka ria, aku dan teman-teman keluar kelas sambil membicarakan acara besok, yang pada intinya adalah jalan-jalan.
Aku tidak punya teman satu perjalanan karena memang yang tinggal di desa tinggal dewek hanya aku seorang. Dalam perjalanan pulang aku selalu merenung kadang berkhayal.
Aku terbang di udara melayang seperti gatot kaca. Menembus awan, menumpas kejahatan. Aku akan melawan penjahat yang menebangi hutan. Mungkin agak aneh, kenapa harus penjahat hutan yang kutumpas padahal masih banyak penjahat model lain. Aku ingin membuat kakek senang, dengan hutan yang lestari tentu banyak jati bisa tumbuh. Kakekpun tak mesti bersusah payah lagi mencari jati.
Tak terasa aku sudah sampai di depan rumah. Entah kenapa, badan terasa sangat lelah. Setelah mencium tangan ibu aku tak sempat menegur siapapun, makan siangpun tak kusentuh. Yang kuinginkan hanya merebahkan badan di kasur empuk.
Ah. Ternyata memang nikmat berbaring di kasur. Pandangan mataku lurus ke depan di mana jam dinding bertengger. Jarum detiknya membalap jarum jam. Berulang kali. Mataku mulai terasa berat.
***
Tiba-tiba aku terbangun entah dimana, sejauh mata memandang hanya ada gumpalan asap putih seperti awan. Akupun bangun diatas gumpalan itu, dari celah gumpalan itu aku melihat di bawah sana seperti lautan. Kutarik napasku perlahan, dan coba untuk menenangkan diri. Bajukupun bukan baju sekolah lagi. Bajuku adalah baju gatot kaca, tak ketinggalan mahkotanya. Kalau memang begitu berarti.... berarti aku bisa terbang?
Kucoba mengibaskan selendang yang sudah terberai di pinggang. Sedikit sedikit badanku mulai melayang. Ternyata aku bisa terbang. Huaaaaa
“aku bisa terbang!!!” teriakanku membahana ke seluruh angkasa.
Seluruh alam seperti dalam genggaman, aku terbang ke sana ke mari, tak ada yang jadi penghalang. Angin menelusup melalui pori-pori kulit. Entah dari mana aku mendengar teriakan minta tolong. Badanku secara otomatis terbang ke arah suara itu. Di sana ada seorang ibu-ibu yang dirampok. Perampoknya lari ke arah utara. Dengan mudah aku mengejar perampok itu, ada tujuh orang, badannya besar-besar, kumisnya melintang dan membawa senjata tajam.
“berhenti!” teriakku
para perampok itu diam seketika dan melihat ke arahku, mereka diam kemudian tertawa dengan kencang.
“ada pahlawan, gatot kaca rupanya!” ucap salah seorang diantara mereka sambil tertawa.
“gatot kaca apa orang gila mas!” balas perampok yang membawa celurit.
“woi anak kecil, mau ane cekek ente!” seorang perampok maju sambil mengayunkan goloknya.
Entah kenapa aku tidak berusaha menghindar. Golok yang panjang itu menghujam keras ke kulitku yang terbuka.
Tanpa disangka, golok itu berhamburan seperti terkena benda keras. Ternyata memang aku memiliki seluruh kekuatan Gatot kaca yang sakti mandra guna, otot kawat tulang besi.
Para perampok itu terheran – heran ketika melihat kejadian itu. Saking herannya tanpa pikir panjang mereka langsung kabur. Dengan sigap aku menangkap tangan perampok yang memegang tas dan merebutnya.
Sampai ke pasar, ibu itu masih menangis memikirkan bagaimana nasib tasnya. Para pedagang di pasar sudah tidak memperdulikan ibu itu lagi dan kembali sibuk dengan dagangannya.
Raut muka ibu itu berubah ketika melihat aku datang dengan tasnya. Ibu itu berlari dan memeluk diriku erat, sambil menangis bahagia tentunya. Tangisan kesedihan sudah berubah menjadi tangisan kebahagiaan.
“terima kasih banyak ya nak, di dalamnya ada uang untuk bayaran anak saya.” Ucap ibu itu sambil terisak.
“iya ini tas ibu, mudah-mudahan isinya tidak kurang sedikitpun.”
“oh iya nak, mampir dulu ya kerumah ibu” sambil menarik lenganku
“makan siang, belum makan kan!”
aku tidak bisa menolak ajakan ibu itu. Ajakannya sangat memaksa. Tidak jauh berjalan dari pasar, kami sampai di sebuah rumah besar. Catnya berwarna hijau dan pagarnya terbuat dari besi. Sehingga orang normal, pasti sangat sulit menjebolnya. Aku hanya bisa mengikuti ibu itu dari belakang ketika dia masuk ke dalam rumah. Bel ditekan dan kami disambut dengan seorang bibi yang sepertinya pembantu rumah tangga di rumah itu. Aku dipersilahkan untuk duduk dulu sebentar sambil menunggu makan siang disiapkan. Dari luar aku mendengar ibu itu menceritakan kejadian di pasar. Entah pada siapa? Tak berapa lama keluar seorang perempuan. Dewi sepertinya, parasnya sangat cantik. Kulitnya putih, hidungnya tidak begitu mancung namun tertata rapi di atas muka yang indah. matanya, Persis seperti ibuku. Kuyakin mimik mukaku berubah ketika dia datang dengan wajah yang menyebarkan aroma kenyamanan.
Dia duduk di depanku, mata bulatnya menerawang seakan mengucapkan terima kasih. Setelah makan siang, aku izin pamit dan berpesan kepada ibu itu untuk lebih berhati-hati juga tidak tampil mencolok untuk menghindari kejahatan.
Aku kembali duduk di awan. Mendengar dari atas kabar dunia, hingga terdengar suara deru gergaji.
Selendang kukibaskan, menuju arah suara gergaji itu. Dari atas kuperhatikan para penebang liar dengan santainya memotong pohon di hutan dengan gergaji mesin yang besar. Tiga pohon sekali tumbang. Diantara para penebang liar itu ada yang membawa senjata api. Badan mereka besar-besar menyerupai beruang. Tapi aku yakin mereka hanyalah kaki tangan, ada lagi yang menjadi dalang dari penebangan hutan ini. Bagaimana tidak, tiap hari aku melihat banyak penebang liar yang ditangkap oleh polisi di televisi. Akan tetapi, tetap saja masih banyak penebangan tejadi. Kalo hal ini belum dicabut sampai akarnya, pasti akan terus tumbuh.
Aku tidak langsung beraksi dengan kekuatan istimewa yang ku punya sekarang. Akan tetapi aku menunggu waktu yang tepat, sampai terlihat bos sesungguhya. Memang hal yang paling membosankan adalah menunggu. Akan tetapi, aku harus sabar untuk menangkap ikan paling besar.
Sampai sore para penebang itu masih beristirahat. Tertawa, mandi, merokok dan hal lain yang bisa dilakukan pada waktu istirahat. Hingga pada pukul lima, ketika matahari mulai malu karena bulan telah datang. Para penebang liar itu mengangkat gelondongan kayu ke dalam truk satu persatu. Tidak ada alat yang sangat modern dan canggih, hanya alat sederhana. Akan tetapi, sepertinya memang mereka sangat profesional dalam mengerjakannya seperti sudah terbiasa dan terlatih. Tangan-tangan mereka yang besar memakai sarung tangan dari kulit, warnanya coklat tua dan sepertinya sangat tebal. Mereka bekerja sama, sangat sejalan dan seirama dalam melemparkan, membersihkan dan membungkus kayu. Dari jauh kuhitung sudah tiga truk yang penuh dengan kayu gelondongan. Tak ada sinar dinyalakan, yang ada hanya senter-senter yang bertebaran. Sepertinya, ini dijadikan tanda untuk memperlancar perjalanan. Jarak dari hutan ke perbatasan hampir 1 jam jika ditempuh dengan kecepatan 60 Km/pH. Aku dengan mudah membuntuti mereka dari atas. Sepanjang perjalan ke perbatasan kota, tak ada satupun mobil truk itu yang menyalakan lampu mereka justru melambat. Perbatasan kota memang daerah yang dijaga ketat. Apalagi di daerah hutan lindung, banyak sekali posnya. Dari jauh seseorang dalam truk itu menyalakan senter dan mengarahkannya ke pos penjaga perbatasan, seperti semacam tanda.
“klik, klik, klik...” senter itu dikedipkan tiga kali.
Tak berapa lama kemudian, orang dalam pos itu menyalakan senter dan mengarahkannya kembali ke arah truk yang ternyata berhenti untuk menunggu sinyal dari pos.
Truk-truk itu kembali berjalan. Ketika berpapasan dengan pos truk terdepan memberikan sebuah paket berwarna hitam kepada penjaga pos dan dengan santainya ketiga truk itu melaju. Di pos selanjutnya, kejadian itu terulang lagi. Begitu juga di pos selanjutnya. Sepertinya ini sudah merupakan kebiasaan yang sering terjadi. Ke tiga mobil truk itu sudah melewati batas kota dan berjalan dengan aman hingga sampai ke sebuah gudang besar. Gudang itu begitu tertutup, di dalamnya terdapat mobil besar yang lebih tertutup dari pada mobil truk yang tadi. Di dalam sana juga ada seseorang yang berpakaian rapih dan mengenakan jas hitam rapih. Sepatunya mengkilat dan mengenakan kaca mata hitam. Namun, wajahnya seperti sangat kukenal. Kuperhatikan lebih seksama, tidak mungkin, tidak mungkin itu dia. Kakekku....
“aaaaaaaaa...”aku berteriak sekerasnya.
Kutemukan diriku tersadar di tempat tidurku, masih mengenakan pakaian sekolah. Dalam hatiku hal tadi merupakan mimpi yang sangat menyeramkan, tapi sekaligus mimpi yang sangat menyenangkan.
Keluar dari kamar aku langsung ke dapur, minum segelas air putih dan duduk termenung kenapa bisa gatot kaca muncul dalam mimpiku. Memang aku pernah diceritakan cerita gatot kaca oleh kakekku. Sebuah kisah pewayangan.
Gatot kaca
Gatot kaca adalah anak dari Bima, ia mempunya kemampuan untuk terbang di angkasa dan sangat sakti mandra guna. Kekuatannya itu banyak membunuh pejuang kurawa dan mempunyai pasukan raksasa dari kerajaannya, Pringgodani. Yang pada waktu itu Pandawa dan Kurawa sedang terlibat konflik.
Duryudana sangat khawatir melihat kekuatan gatot kaca dan pasukannya. Dia menugaskan Karna untuk membunuh Gatot kaca secepatnya. Bila tidak berhasil maka Karna dan anak buahnya akan dihukum mati
Karna pun mulai melakukan usaha untuk membunuh Gatot kaca yang pada saat itu sedang sibuk bertempur dengan Arjuna. Hanya dia di antara prajurit kurawa yang memiliki panah setipis rambut. Nama panahnya kunto wijaya danu. Tiba-tiba Karna mendengar kilat dan melihat awan hitam yang berarak. Karna tahu bahwa itu adalah ulah Gatot kaca. Karna menembakan panahnya ke awan itu melewati wajah arjuna.
Ketika Gatot kaca lahir rambutnya tidak bisa dipotong oleh pisau. Pada akhirnya orang pintar menyarankan. Rambutnya harus dipotong oleh mata panah kunto. Tapi ketika panah dilepas panah kunto tidak sanggup mengenai gatot kaca akan tetapi herannya panah itu berhasil mendarat di perut gatot kaca. Takdir yang menentukan bahwa ketika panah kunto dilepas maka gatot kaca harus mati. Sewaktu muda dulu, gatot kaca telah membunuh pamannya Kalabendana, seorang raksasa. Kalabendana pun menunggu waktu yang tepat untuk membalas dendam. Dia tau kalau takdir kematian Gatot kaca adalah ketika Bharatayuda. Tembakan Karna yang sebenarnya tidak mengenai sasaran dan tidak mampu mengejar Gatot kaca dengan cepat kelangit, lalu dengan cepat roh Kalabendana memegang Kunto dan memberitahunya
“ kamu harus kejar kembali dan aku akan membantumu!” ujar Kalabendana
Kunto berhasil mengenai Gatot kaca dan roh Gatot kaca bersama kalabendana kembali damai dalam keabadian.
Kira-kira itulah sepotong cerita yang aku ingat ketika kakek bercerita. Memang banyak yang aku lupa dari cerita itu. Tiba-tiba aku teringat kembali dengan tamasya di sekolah. Aku belum menyiapkan peralatan. Untung saja aku ingat. Toko untuk membeli peralatan sebentar lagi akan tutup.
Setelah semua komplit akhirnya aku menenangkan diri dan coba mencari tau dari buku tentang tempat tamasyaku besok, hutan.

Saturday, September 15, 2007

--UkIrAn--

Sebuah cerita untuk anak berumur sepuluh tahun ke atas

Ukiran, nama kampung yang mirip dengan pekerjaan rata-rata penduduk kampung.di sinilah kampungku, tempat aku tinggal bersama orang tuaku dan kakekku. Dari seluruh keluargaku hanya kakekku yang masih mengukir. Memang bukan hanya keluargaku saja yang mulai meninggalkan usaha ukiran, rata-rata penduduk kampung sudah berganti menjadi petani. Mereka beralasan meninggalkan kerajinan ukir karena kayu jati sudah jarang apalagi kalau mencari kayu jati emas, seperti mencari harta karunnya kapten hook, hampir mustahil. Kakekku meski sudah tua ia tetap mengukir, ukirannya sangat bagus dan rapih. dia tidak lagi melakukannya sebagai usaha. Akan tetapi, melakukannya sebagai pemuas keinginannya untuk membuat karya. Pernah aku bertanya sekali pada kakekku ketika dia sedang asyik mengukir dengan kacamata bacanya. Lampu bohlam 75 watt menerangi langsung

“kakek, kakek tidak cape kek?”

“memangnya kamu pikir pekerjaan ini cape ndoo!, pekerjaan ini justru menghilangkan cape.” jawab kakek dengan lantang.

Entah kenapa hanya kakekku yang paling kusegani di rumah, selain ibu-bapakku tentunya. Aku tinggal bersama ibu-bapak, kakekku dan tiga orang kakakku di desa tinggaldewek kecamatan Ukiran sebelah utara kota Yogyakarta. Memang pada kenyataannya kampung manapun pasti sepi, belum masuk listrik dan penuh dengan cerita hantu. Tapi untungnya kampungku sudah sedikit ramai, listrik sudah masuk dan tentu saja udaranya masih sangat bersih. Pohon-pohon masih bertebaran di muka halaman rumah, aku masih bisa melihat tupai meloncat dari pohon ke pohon lalu lari di kabel listrik, lompatannya sangat energik. Sempat terpikir bagaimana caranya tupai itu tidak bisa terkena aliran listrik yang mengalir dalam kabel. Suatu kebetulan atau memang ada penjelasannya dalam pelajaran IPA (Ilmu Pengetahuan Alam).

Satu waktu ketika melihat mata kakekku saat dia menatapku ada yang lain dalam tatapannya seperti dia ingin menaruh harapan yang besar kepadaku. Harapan untuk meneruskan cita-citanya, harapan untuk melestarikan budayanya. Memang dari seluruh keluargaku yang mempunyai potensi paling besar meneruskan budaya mengukir adalah aku. Selain aku sudah menguasai teknik dasar mengukir aku juga sudah mengenal seluruh alat yang digunakan untuk mengukir, dan beberapa rahasia mengukir yang sudah diwariskan kakek kepadaku. Salah satunya adalah kayunya, seharusnya aku tidak boleh mengatakan ini kepada kalian tapi aku percaya kalian tidak akan membocorkannya kepada pengukir lain. Kayu yang dipakai untuk mengukir adalah kayu terbaik dari pohon jati emas yang sudah hidup puluhan tahun bahkan ratusan tahun yang lalu, selain lebih empuk, kayunya juga akan mudah untuk diukir.

Kakekku punya cara yang khas dalam mengukir dan belum bisa kutiru. Aku sangat senang melihat kakekku mengukir ketelitiannya, pengabdiannya, keikhlasan, dan rasa sayang yang dia curahkan pada bongkahan kayu membuat kayu itu menjadi sesuatu yang tidak ternilai ketika sudah terbentuk. Aku selalu tertawa ketika melihat kacamata kakekku pada waktu dia memahat, pantulan sinar bohlam yang kekuningan memantul di atas kacamatanya yang tebal, kacamata baca, silinder 3, rambut yang berponi tiga lembar sesekali rambut itupun jatuh tergerai di sela keringat yang deras menghujam alis mata. Sesekali kakek membuka kacamatanya dan menyeka keringat yang keluar.

Ini adalah hari minggu aku, hari libur yang dinanti setiap satu minggu sekali. Pada hari minggu biasanya aku selalu turut kakekku ke kota naik mobil antik. aku duduk di samping kakekku yang menyetir mobil. Melihat pemandangan sekitar. Hijaunya pohon, segarnya udara. Memang suasana pagi di desaku sangat segar. Walaupun aku melewati jalan ini setiap hari ketika menuju sekolah, akan tetapi sangat berbeda ketika bersama kakek naik mobil antiknya. Namanya mobil antik, larinya juga tidak terlalu kencang akan tetapi, pemandangan menjadi tak sia-sia untuk dinikmati.

Sejam perjalanan kami sudah sampai di kota di mana bermacam-macam barang bertebaran dan bertumpuk di dalam etalase dan diatas terpal. Tapi bukan itu tujuan kakekku ke pasar, tepatnya bukan di pasar, akan tetapi di belakang pasar. Kakek membawa hasil ukiran untuk seorang teman yang sudah memesannya dua minggu yang lalu. Rumah bercat coklat nampak di depan mata, kakek memencet belnya, keluarlah seorang pembantu.

“cari siapa pak!” tanya pembantu itu

“pak samsu ada di rumah? Kalau ada, bilang darli bawa ukirannya.”kakekku menjawab sambil tersenyum.

Pembantu itu masuk lagi ke dalam rumah. Tak lama kemudian muncul pria seumuran kakek dari dalam rumah dengan wajah tersenyum seperti sudah lama menantikan kakek. Aku menebak bahwa pria ini adalah pak samsu yang dikatakan kakek. Pintu pagar dibuka kami masuk ke dalam rumah bercat coklat. Kakek duduk menggobrol berdua sementara aku sibuk menghabiskan sirup yang disediakan oleh pembantu pak Samsu, rasanya enak, ada rasa jeruk, mangga, dan jambu. Rasa jambu kuhabiskan terlebih dulu. Jika ibu melihat tingkahku ini mungkin aku sudah dijewernya. Tingkahku kurang sopan. Tapi entah kenapa kakekku dan pak samsu seperti sudah wajar melihat tingkahku ini. Rupanya pembicaraan menjadi panjang tanpa terasa adzan dzuhur sudah menggema kakek dan pak samsu masuk kedalam mengambil wudhu di kamar mandi, begitupun aku. Pelajaran tentang sholat baru kudapat pada tahun ini. tahun depan aku akan naik ke kelas lima, walaupun umurku baru sebelas tahun akan tetapi aku sepertinya punya tanggung jawab yang lebih besar dari pada anak seumuranku.

Dalam perjalanan pulang kakek membelikanku seperangkat alat-alat pahat dan ukir untukku. Sepertinya perkiraanku benar. Kakek mengharapkanku menjadi seorang pengukir, meneruskan bakatnya, meneruskan cita-citanya. Tak lupa pula kakek membeli beberapa potong kayu jati emas. Harganya naik tiga kali lipat, penjualnya mengatakan bahwa pohon jati mulai langka akibat penebangan liar dan pembakaran hutan. Ada satu kerutan muka yang berbeda ketika kakek mendengar berita itu, seperti kekecewaan yang amat sangat.

Dalam perjalanan pulang kakek diam, aku jadi penasaran. Tidak biasanya kakek seperti itu, sampai setengah perjalanan kakek mengeluarkan sepatah kata.

“seharusnya tidak begitu! Warga kita pengukir, tidak seharusnya jati langka disini.”

Aku hanya diam saja ketika kakek mengatakan itu, sepertinya ungkapan itu tidak membutuhkan tanggapan. Hanya sebaris kalimat itu yang dikatakan kakek sepanjang perjalanan pulang, hanya sekali.

Kakek hanya memiliki tiga bongkah kayu jati emas, Biasanya kakek bisa memiliki 15 bongkah kayu jati emas. Malam ini kakek termenung di beranda rumah. Matanya jelas menatap bintang dan disampingnya nampak segelas kopi panas.

“belum tidur ndoo?” tanyanya

kakekku rupanya mendengar langkahku mendekati pintu rumah. Dari situ jelas terlihat beranda. Dengan sedikit terburu aku melangkah mendekati kakek.

“kakek belum tidur?” aku membalas pertanyaannya dengan pertanyaan lagi

“belum!” jawab kakek.

Pada akhirnya kami hanya terdiam, memandang bintang berkelap-kelip, mendengar jangkrik bernyanyi, mendengar alam yang sunyi dan merasakan angin yang berhembus. Dalam kesunyian malam aku tertidur di bahu kakek. Kurasakan kehangatan. Kurasakan kasih-sayang.

Pagi harinya aku terbangun di ranjangku, rupanya kakek memindahkanku. Sinar matahari pagi sudah menyengat. Tak terasa aku terlelap hingga kesiangan. Ayam-ayam sudah dikeluarkan. Hari ini adalah jadwalku masuk kelas. Untungnya aku masuk siang. Sarapan pagi sudah disiapkan oleh ibu di atas meja makan, makan siangkupun sudah siap dalam tempat makan. Ibu selalu berpesan agar jangan jajan sembarangan, nanti sakit perut. Memang pernah satu waktu aku jajan makanan kecil dan es di depan sekolah. Sepulang sekolah perutku langsung merasa tidak enak dan buang air besar berulang kali. Untungnya ibuku punya resep mujarab untuk sakit perut. Hasilnya, tiga hari aku tidak masuk kelas dan harus tidur di tempat tidur dan bolak-balik ke wc. Ternyata memang lebih baik ditabung dari pada jajan.

Di sekolah aku dan teman-teman mendapat pelajaran mengenai hutan hujan tropis. Indonesia dengan iklim tropis tentu saja mempunyai hutan hujan tropis. Di hutan itu terdapat bermacam-macam flora dan fauna yang memang habitatnya di sana. Dunia ini juga seperti manusia, memiliki paru-paru dan paru-parunya adalah hutan. Ketika pabrik dan mobil sudah banyak di bumi maka hutanlah yang diharapkan untuk bisa membersihkan polusi udara yang terjadi. Sebagaimana yang dijelaskan dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) kalau pohon itu, melakukan proses yang dinamakan fotosintesis. proses ini dilakukan pohon seperti ketika kita bernafas. Ketika fotosintesis terjadi dia akan mengeluarkan oksigen (O2) dan sebagai bahan bakunya pohon membutuhkan karbondioksida (CO2). Dalam diri manusia justru sebaliknya ketika bernafas membutuhkan oksigen dan mengeluarkan karbondioksida.

Aku sangat tertarik pada tumbuh-tumbuhan. Memang ketertarikanku ini menyebabkan nilai Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) lebih tinggi dibandingkan dengan kawanku yang lain. Selain IPA aku juga tertarik dengan pelajaran matematika dan IPS, tapi herannya justru pelajaran IPA yang seringkali mendapat nilai sempurna, hal ini tidak pernah diduga-duga.

Dalam perjalanan ke sekolah aku berpapasan dengan teman satu kelasku, dia adalah teman sebangkuku. Orang-orang mengatakan dia aneh, sebab temanku ini memiliki sedikit kelainan dan teman-temanku yang lain enggan berteman dengannya. Andri, dengan nama itulah aku sering memanggil dia walaupun bukan nama aslinya, hanya panggilan akrab. Nama panjangnya sebenarnya lebih bagus dan penuh makna Septiandri Ramadhan. Walaupun agak sedikit aneh, sebenarnya Andri pintar. Aku seringkali belajar dengannya ketika dalam pelajaran ada hal yang belum kumengerti. Lagipula ibu selalu mengatakan, berteman itu tidak boleh pilih-pilih.

Sekolah hari ini sama dengan sekolah kemarin, hanya mata pelajarannya saja yang berbeda. Jarak dari rumah ke sekolah kira-kira lima kilo. Aku harus berangkat pagi sekali. Bahkan sendirian aku berjalan, karena yang sekolah di SD ini hanya aku seseorang. Entah kenapa anak seumuranku lebih memilih untuk tidak sekolah. Apakah mereka menganggap sekolah itu tidak penting, atau bayaran sekolah begitu mahal.

Sepulang sekolah aku tidak langsung pulang. Aku selalu menyempatkan diri untuk duduk di atas bukit. Dari situ aku bisa melihat atap rumahku. Bukit tempatku biasa berdiri. Anginnya terasa begitu menyegarkan dan membuat hari terasa bersemangat.

Luas desaku memang tidak terlalu luas akan tetapi aku sangat bersyukur. Karena aku memiliki desa yang paling indah. Desaku dilewati sebuah sungai. Memang sungainya tidak terlalu besar. Tapi cukup untuk mengairi seluruh sawah yang ada di kampung tinggaldewek. Tadinya sungai itu sangat indah melewati padang rumput. Akan tetapi, penduduk yang pindah mata pencariannya menjadi seorang petani memilih daerah dekat dengan sungai, untuk memudahkan pengairan. Banyaknya penduduk yang mengganti mata pencarian menjadi seorang petani membuat sungai itu menjadi bermacam aliran. Begitu banyak sawah yang harus dialiri, ada saja warga yang marah ketika aliran sungai ke sawahnya kecil akibat aliran dari sawah sebelah ter-urug tanah. Aku pernah mendapat pelajaran ketika caturwulan ke satu pada mata pelajaran IPA, sistem pengairan paling bagus adalah sistem pengairan model subak, seperti di bali. Akan tetapi kalau tidak bisa ya harus menggunakan sistem tadah hujan dan bendung. Walaupun begitu aku tetap suka duduk di atas bukit. Pemandangannya memang berubah akan tetapi tetap aku bisa nikmati. Selain itu ada rutinitas pengukir yang sekarang ini berubah menjadi petani. Mereka harus membuat orang-orangan sawah dan menggantung kaleng-kaleng yang sudah diisi batu. Kaleng-kaleng itu nantinya ditarik dengan tali sehingga menimbulkan bunyi yang berisik. Pada pukul sepuluh sampai kira-kira pukul empat sore hari, biasanya banyak burung yang ingin memakan padi di sawah. Tentunya bunyi berisik dari kaleng yang digantung dan diikatkan ke seluruh sawah akan sangat membantu mengusir burung-burung. Karena burung-burung tidak mungkin sendirian ketika menyerang sawah, gerombolan burung-burung itu pun sekarang menjadi pemandangan yang kunikmati.

Hal paling baru yang paling kunikmati adalah ketika panen tiba. Semua penduduk akan keluar dan mengadakan pesta. Ketika padi menguning dan menjuntai karena ranumnya biji-biji padi yang menggantung. Ketika itu pula pesta ini berlangsung semua bergembira baik pengukir maupun petani. Tak ada pertengkaran walaupun pengukir merasa petani baru ini mengkhianati pekerjaan leluhur, karena dari dulu desa ini adalah desa pengukir. Namun semua itu hilang, tak ada perasaan benci. Semua bergembira.

Kadang ketika datang saatnya berpesta, semuanya akan turun tangan membantu ada yang memasak di dapur, ada yang menghias lapangan, ada yang menyiapkan penampilan. Semuanya sibuk. Bahkan yang tidak punya kesibukan, sibuk memikirkan malam nanti harus pakai baju apa. Tapi yang paling sibuk diantara yang paling sibuk adalah pak Rt yang harus menyiapkan sambutan untuk nanti malam.

Pak Rt adalah orang paling disegani di kampung. Bukan karena dia paling kaya, akan tetapi karena dia paling bijak dalam mengambil keputusan. Karena jabatan bapak Rt merupakan jabatan yang sangat tinggi di desa, pernah ketika pemilihan bapak Rt baru, orang paling kaya di desaku mencoba membeli suara para warga. Tentu saja, walaupun warga kami kebanyakan pengukir dan petani. Bukan berarti kami bodoh, uangnya kami ambil tapi dalam memilih tentu saja kami pilih yang paling bijak dan hal itu jatuh kepada pak Amri, bapak Rt yang sekarang.

Bapak Amri masih terlihat bingung padahal hari sudah menjelang magrib. Kudekati pak Amri, duduk disampingnya.

“pak Amri kok bingung, bukannya harusnya gembira pak!” kucoba berbicara.

Pak Amri diam dan merasa risih dengan kehadiranku yang merasakan kebingungannya. Dia berjalan, arahnya menuju rumah. Mungkin dia mau mandi sore terlebih dahulu. Aku tetap percaya kalau pak Amir akan mendapatkan kata sambutan yang bagus. Karena memang dialah yang paling bijak di kampung ini.

Acara sebentar lagi akan berlangsung semua orang di desa sudah berkumpul di lapangan aku liat si Andri anak tetangga, dia bersama bapaknya pak Shomad dan si Ujang juga bersama bapaknya pak Nandar. Semuanya sudah keluar hanya pak Rt yang belum terlihat batang hidungnya. Ketika acara harus dimulai muncullah pak Rt, semua orang bersorak-sorai. Acara pun berjalan sesuai rencana. Mas Uddin membuka acara dengan sari tilawah, suara mas uddin bagus. Dilanjutkan dengan sambutan dari bapak Rt. Inilah yang kutunggu, kulihat yang lain pun sepertinya sangat menunggu wejangan dari bapak Rt selanjutnya.

Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh

senang sekali rasanya bisa berkumpul dengan seluruh warga desa. Yang tentunya malam ini kita tidak akan bersedih. Kita akan bergembira. Tapi walaupun kita bergembira, ya jangan berlebihan to. Yang sedang-sedang saja, masalahnya hari yang bergembira ini bukanlah akhir dari hidup kita. Kita harus terus berjuang, bekerja, silaturahmi, ibadah, berbenah dan macam-macamnya.

Selain itu kita juga tetap harus menjaga kerukunan, saling bantu, karena kalau kita tidak saling bantu, siapa lagi to. Mikul banyu nganggo pikul, ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.

Tapi semua himbauan ini walaupun harus diambil serius dan memang sangat serius, tetap tidak boleh menghapuskan kegembiraan kita malam ini. Selamat menikmati dan selamat bergembira.

Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Sambutan bapak Rt sungguh sangat menyentuh, semua bergembira. Hingga esok hari. Kegembiraan ini masih terus terasa.

Ada satu hutan yang sangat angker di sebelah barat desaku. Namanya hutan Cengkrik. Ketika matahari tenggelam dan kita melihat ke arah barat dari desaku akan terasa keangkeran yang sangat dalam dari hutan itu. Ibuku pernah bercerita, katanya waktu aku berumur empat tahun, aku pernah tersesat di hutan Cengkrik. Ketika aku bermain bersama si Andri dan si Ujang. Tiga hari aku menghilang di dalam hutan. Akan tetapi, aku ditemukan dekat dengan sungai yang sekarang menghidupi seluruh sawah di desaku. Tapi herannya, aku tidak dapat mengingat apa yang terjadi selama tiga hari dalam hutan Cengkrik. Konon kata kakek, hutan itu akan selalu dijaga oleh juru kunci yang bukan manusia. Dia berteman dengan panglima Kumbang, dan kau telah mempunyai hubungan yang khusus dengan juru kunci hutan itu. Dalam hutan itu juga banyak pohon yang berumur ratusan tahun. Pohon yang sangat diidamkan semua pengukir, menurut kakek pohon itu bisa diambil hanya saja setelah melalui beberapa syarat, dan syarat ini jarang sekali yang tahu itulah sebabnya para pengukir dari desa lain yang nekat tidak memenuhi syarat banyak yang tidak kembali. Syarat-syaratnya adalah :

* Puasa senin-kamis selama satu bulan.
* Hari puasa pertama harus menanam 10 pohon yang sudah 2 bulan di dalam hutan.
* Hari terakhir puasa harus menanam kembali 10 pohon yang umurnya 3 bulan di pinggir hutan.
* Pohon yang ingin di tebang harus di ikat kain terlebih dahulu dan harus memakai alat tebang tradisional.

Syaratnya cukup gampang. Tapi kebanyakan pengukir yang sudah menganggap ini jaman modern tidak boleh percaya sama yang begituan bandel dan tebang sana tebang sini. Sampai saat ini tidak ada yang tahu bagaimana kabar dari para pengukir bandel itu. Memang hanya hutan Cengkrik yang masih tergolong lebat selebihnya sudah mulai gundul, ada yang oleh penebang liar, penebang legal, dan bencana alam. Sepertinya kakek juga punya hubungan yang erat dengan hutan itu. Tapi aku tidak tahu sekuat apa, dan kenapa kakek bilang aku punya hubungan yang khusus dengan hutan itu. Ketika aku mengingat kata itu kepalaku berubah menjadi pusing. Pada akhirnya aku selalu menghindarinya, memikirkan hutan itu.

Sunday, June 24, 2007

Antara Aku, Dia dan Tuhan

Ruangan itu hanya diterangi bohlam dua puluh lima watt. Sekilas jarum jam menunjukan pukul sembilan, entah malam, entah siang. Buku berserakan, baju bertebaran, asap rokok merambat ke seluruh ruangan. Bangku bermusuhan dengan meja, jelas terlihat dari posisinya yang jatuh terbaring ke lantai. Hanya pintu yang begitu aneh, terbuka dengan sangat malu-malu.

Pintu itu seakan memanggil-manggil orang untuk melangkahkan kaki kearahnya. Samar-samar terdengar suara canda tawa dari luar. Kadang, suara teriakan mengerikan juga kerap terdengar dari pintu itu. Entah apa yang terjadi di luar pintu itu. Tak pernah ada keinginan untuk mencari tahu, hanya waham saja yang terlintas di kepala.

Nafasnya lenguh namun bertenaga. Sorot matanya tajam seperti melihat hantu. Badannya mengeluarkan keringat dingin. Sudah dua hari Randi seperti ini, namun belum ada yang menyadari. Walaupun jarang bergaul, Randi sesungguhnya punya banyak teman, dari mulai mahasiswa, pedagang kaki lima, sampai pemulung. Dia tidak segan-segan dan tidak pilih-pilih dalam mencari teman. Toh pada akhirnya pribadilah filter terakhir, merunut pada kata mutiara, jika ingin menilai seseorang maka lihatlah temannya. Entah apa yang bisa dilihat dari temannya, tapi pada kenyataannya, Randi tetap kukuh pada pribadinya. Dia tidak terkena pengaruh apapun yang diluar kehendaknya. Pada dasarnya, hanya bukulah teman sejatinya.

Randi adalah seorang mahasiswa filsafat yang sedang memasuki semester lima. Walaupun masih terbilang semester muda, namun karena pola pergaulan dan tongkrongan yang berbeda dengan mahasiswa lain, Randi punya pola pikir yang berbeda pula. Dalam hal buku bacaan, ia sudah membaca khatam buku-buku Marx sampai buku-buku Volvot. Dari filsafat alam, manusia, modern dan postmodern sudah dilahap habis. Hasilnya dia bertambah pintar dan punya jawaban untuk banyak pertanyaan. Walaupun, pada akhirnya selalu menimbulkan pertanyaan yang lebih banyak lagi.

Delusi-ilusi berangkat dari otaknya, matanya makin melotot. Jika tidak ada tikus yang memberikan sentakan pada kakinya, mungkin Randi sudah menjadi gila. Efek ilusi sepertinya sudah semakin parah. Tidak ada lagi yang bisa menolong kecuali Tuhan. Karena itulah yang sedang dicari Randi sesungguhnya. Sifat skeptis Randi sangat kuat. Semua hal yang bersifat fakta, belum tentu pasti dimatanya. Semuanya akan menjadi keraguan hingga ia membuktikannya juga. Sesuai dengan prinsip empirisme, walau siapapun orangnya, ketika ia melakukannya sesuai petunjuk, maka ia akan mendapatkan hasil yang sama. Begitu pula dengan agama. Tidak ada yang mempertanyakan Tuhan diantara semua teman Randi. Mereka hanya menjadikan Tuhan sebagai bahan gosip. Akan tetapi untuk mempertanyakan apakah Tuhan itu ada atau tidak sudah menjadi daerah terlarang untuk dimasuki. Randi memang orang yang nekat, ia langgar garis verbodden itu dan mulai mempertanyakan. Hingga akhirnya ia menemui pertanyaan yang tak ada habisnya. Otaknya selalu melayang, mencari cara kreatif untuk mengungkap misteri dan memunculkan fakta ke permukaan hingga jelas dimana Tuhan sesungguhnya.

Jam masih menunjukan pukul 9 dan belum jelas entah siang, entah malam. Suasana dalam kamar Randi tetap sama, apakah itu siang atau malam. Godaan dari luar pintu kembali memanggil Randi untuk mendekati. Kali ini lantunan lagu dangdut yang merayu. Syair lagu percintaannya mengingatkan Randi pada Ririen, seorang wanita yang dikenalnya di kampus dua. Hanya saja pertanyaan yang Randi simpan membuat Ririen menganggap Randi sudah gila. Hubungan mereka mulai renggang setelah itu. Semenjak itu pula Randi mulai mengurung diri di kamar. Dimana nyamuk-nyamuk mulai berpesta mengeksploitasi Randi dari mulai ujung kepala sampai ujung jempol kakinya. Randi sudah tidak peduli dengan prilaku nyamuk yang tidak manusiawi. Nyamuk-nyamuk merasa diuntungkan dengan tingkah Randi yang sudah mulai skizophrenik. Bak ilegal logging, nyamuk itu tidak perduli dengan tepukan tangan yang sudah tidak berdaya. Nyamuk-nyamuk juga tidak mengenal waktu kerja. Sesuka hati mereka menggigit Randi. Jika Randi dalam keadaan sadar dan mulai menegakkan tepukan-tepukan tangan, mereka melakukan diversi dengan mengerahkan barisan muda nyamuk. Hasilnya pun tidak diragukan lagi. Diversi itu berhasil dan membuat tangan menjauh dari ilegal logging yang sudah piawai dalam menghisap tanpa bunyi. Badan Randi semakin kurus tanpa asupan karbohidrat dan air. Badannya yang sekarang tinggal tulang masih saja menatap nanar cakrawala kamar, mencoba mencari Tuhan dalam imajinasi yang berbaur dengan siluet pengalamannya. Tak ada satu jawaban pun yang didapat. Pertanyaan itu justru melahirkan pertanyaan baru. Alisnya makin mengkerut mencoba terus mencari jawaban. Kembali ia berusaha berkonsentrasi dan entah kenapa ia tersenyum sambil tetap menatap nanar. Nyamuk-nyamuk yang berkeliaran pun bingung ketika Randi tersenyum, akan tetapi senyuman itu lalu diartikan legalitas oleh para nyamuk yang memang pada dasarnya adalah spekulan tangguh.

Keesokan harinya, aku melihat rumah kontrakan Randi dipenuhi orang. Dengar-dengar obrolan orang, Ibu kostnya memenemukan Randi sudah terkapar ketika ingin menagih uang kost-an. Aku baca koran keesokan harinya. Mayat Randi ditemukan dalam keadaan tersenyum. Di satu sisi aku bersedih Randi temanku telah meninggal, di sisi lain aku gembira karena Randi merdeka dan menemukan Tuhan yang dicarinya.