Monday, October 15, 2007

aku dan pencil kecilku

Di sela derunya kereta api malam itu, aku tiup lilin ulang tahunku. Walau jumlah lilinnya tidak berjumlah tujuh, tidak berada di atas kue tart coklat berlapis pasta yang ditaburi krim dan dihiasi buah chery. Tetap aku bersyukur.

Ibu dan Ayah tersenyum, berusaha untuk menghadirkan semangat kegembiraan pada malam ini. Angin dingin kukuh ingin menembus dinding kardus yang tertata rapi. Dingin memang, namun tak juga mengusir senyum kami sekeluarga. Ibu dan Ayah memaksa, ayo buat satu permohonan. Tak pernah kukira kalau sebaris permohonankulah yang akan mengusir senyum di wajah Ibu dan Bapakku.

"Ya tuhan, aku ingin sekali sekolah supaya bisa pintar!."
Walau aku tidak pintar, aku punya keinginan kuat untuk belajar. Aku akan sekolah di pagi hari, keluar sekolah langsung berjualan koran, setelah itu membantu bapak memilih dan memilah sampah.

Keinginanku betul-betul terwujud. Aku masuk sekolah berkat program pemerintah yang sedang memberantas buta huruf, akhirnya aku bisa sekolah. Malamnya di sela sinar lampu minyak yang temaram ibu menitikan airmatanya ketika memberikan seragam sekolah yang berhasil ia mintakan dari majikannya. tak lupa bapak memberikan pencil dan buku, kupeluk keduanya.

Tibalah hari pertamaku sekolah. Sebuah tas bahan sudah bertengger di bahu kananku. Sekolahku sekolah negeri, konon katanya orang-orang berlomba untuk bisa sekolah di sekolah negeri, karena lebih murah dan juga pengajarnya berkualitas. Hari pertama adalah perkenalan, pembacaan peraturan kelas dan buku apa saja yang dipakai.

Aku langsung akrab dengan Tedi, jarak rumahnya dengan rumahku sekitar 2 kilometer, Tedi terhitung orang yang mapan, semua buku pelajaran langsung dimilikinya.

Sudah dua minggu sekolah Senin ini aku harus mengumpulkan tugas untuk pelajaran Bahasa Indonesia yang selalu memberikan PR (Pekerjaan Rumah). Gurunya selalu sibuk, kata teman-teman ibu guru itu hebat lulusan luar negeri jadi selalu sibuk. Minggu ini beliau masuk. memeriksa tugas-tugas yang diserahkan, semuanya dikoreksi. Aku suka guru yang seperti ini. Kali ini dia memberikan tugas yang soal-soalnya ada di buku hal. 143. Keluar sekolah seperti biasa aku selalu memberi tahu Tedi aku akan kerumahnya. Hal ini selalu aku lakukan jika ada tugas. Setelah selesai berdagang aku berjalan menuju rumah Tedi. sesampainya disana aku salin semua soal tugas yang ada dalam LKS (Lembar Kerja Siswa). Kembali kutempuh dua kilo jalan aspal berdebu. satu teko air pasti sudah menanti di rumah. nikmat sudah kureguk air, Bapak yang sedang sibuk memilah bagai memanggil dengan kebisuannya. Lekas segera kubantu dia, secercah senyum keluar dari bibir kering ketika kusodorkan cuntang berisi air.

Di sela lampu minyak temaram aku isi soal-soal yang ku salin, soal terakhir adalah mengarang bebas tiga paragraf, menjelang paragraf kedua sinar lampu minyak mulai mengecil, tanda waktu semakin menipis, ibu sudah mengatur jatah minyak untuk lampu dan semuanya harus dipatuhi, minyak sekarang susah didapat, menjelang pagi akupun tertidur titik. Ibu membangunkanku disela adzan subuh yang masih membahana, suara halusnya bagai halilintar memaksa kantuk bergegas pergi. kumasukan semua tugas ke dalam tas, sampai di sekolah ibu guru mengumpulkan semua tugas. Anak-anak menunggu. Akhirnya tugas yang sudah diberi nilai dibagikan. Entah kenapa hanya punyaku yang tidak ada nilainya, pada akhirnya. Setelah kelas usai kutanyakan perihal ini. Ternyata permasalahannya sepele, bukan karena tugasku terlalu banyak salah akan tetapi karena tugasku ditulis tidak menggunakan pulpen, hanya itu.

***

Sekolah tampak lenggang, proses belajar-mengajar berlangsung seperti biasa, ibu guru mulai sadar ada satu bangku yang kosong selama tiga hari. Tedi pun dipanggil ke ruang guru ketika jam pelajaran usai. Tanpa basa-basi ibu guru menanyakan perihal Randi kepada Tedi. Tedi tak tahu-menahu, selain pertemuan tiga hari yang lalu, ketika randi menyalin soal dirumahnya. Ibu guru tertegun, mengumpulkan serpihan kenyataan dan pupusnya harapan dikarenakan sebuah pulpen. Jika saja ia tahu bagaimana perjuangan Randi untuk menyelesaikan tugas darinya. Jika saja ia mengerti apa yang ingin randi katakan di sela matanya yang membengkak karena dipaksa dalam sinar temaram lampu minyak. Randi mungkin miskin tapi bukan berarti hak dia untuk belajar dan membaca menjadi hilang.

untuk kawan-kawanku
miskin bukan kutukan
tapi keadaan yang harus kita ubah.
ciputat 15 oktober 2007