Monday, October 26, 2009

Guruh Bernyanyi, lagi..

Angin terus bertiup diiringi butir-butir halus air yang tersebar rata, halus hingga sentuhannya terasa segar masuk ke pori-pori. langit mendung putih susu. namun, keputihannya lambat laun berubah menjadi hitam dan begitu menakutkan. Guruh pun mulai bernyanyi, lagi, lagi, dan lagi, nadanya terus menanjak seakan sedang membawakan irama kematian.

Di atas bukit, seorang ibu sibuk menabur garam, membuka pintu dan menutupi semua cermin. seakan-akan sedang menjalankan ritual untuk menolak bencana dan musibah. mukanya cemas. namun kutahu, hatinya lembut. sadar semua ritual yang dikerjakan telah selesai ia duduk namun raut muka cemasnya masih tersisa. Guruh terus bernyanyi, lagi, lagi, dan lagi. angin semakin kencang butiran hujan besar dan deras menghujam bumi.

Seekor kucing keluar dari dalam dan duduk di depan pintu rumahnya. tanpa gerakan, percikan air hujan dari teras tidak mengganggu seekor kucing yang terkenal sangat benci dengan air. Seakan sedang mendoakan keselamatan bagi seisi rumah dan anak-anaknya. namun, apa yang kita bisa kita lakukan ketika alam berkata, dia punya hukumnya sendiri. hukum yang akan menghapus setiap hal yang bersanding dengan kata lemah.

Guruh masih bernyanyi, lagi, lagi dan lagi. namun butir-butir hujan tidak sekeras tadi, anginpun mulai melembut dan aroma segar tanah yang diguyur hujan kental tercium. kucing itu masuk, Ibu itu membuka kembali cermin yang tadi ditutupnya, perang adrenalin telah selesai. namun kecemasannya belum kunjung usai, karena Guruh masih bernyanyi, lagi, lagi dan lagi.

Pelangi telah tampak, tanda mentari telah sadar dari godaan lembut hujan yang mengizinkannya untuk istirahat di saat jam kerja. Alam seperti tersenyum, namun hukumnya tak pernah berubah, dari sejak terciptanya dia. tidak ada yang bisa aku lakukan untuk menenangkan hati Ibu dan Kucing itu, selain mendoakannya, walau itu membuat aku tampak lemah, lemah, sangat lemah. Guruh menghilang tanpa mengucapkan salam penutup, dan aku redup.

3 comments: