Sunday, June 24, 2007

Antara Aku, Dia dan Tuhan

Ruangan itu hanya diterangi bohlam dua puluh lima watt. Sekilas jarum jam menunjukan pukul sembilan, entah malam, entah siang. Buku berserakan, baju bertebaran, asap rokok merambat ke seluruh ruangan. Bangku bermusuhan dengan meja, jelas terlihat dari posisinya yang jatuh terbaring ke lantai. Hanya pintu yang begitu aneh, terbuka dengan sangat malu-malu.

Pintu itu seakan memanggil-manggil orang untuk melangkahkan kaki kearahnya. Samar-samar terdengar suara canda tawa dari luar. Kadang, suara teriakan mengerikan juga kerap terdengar dari pintu itu. Entah apa yang terjadi di luar pintu itu. Tak pernah ada keinginan untuk mencari tahu, hanya waham saja yang terlintas di kepala.

Nafasnya lenguh namun bertenaga. Sorot matanya tajam seperti melihat hantu. Badannya mengeluarkan keringat dingin. Sudah dua hari Randi seperti ini, namun belum ada yang menyadari. Walaupun jarang bergaul, Randi sesungguhnya punya banyak teman, dari mulai mahasiswa, pedagang kaki lima, sampai pemulung. Dia tidak segan-segan dan tidak pilih-pilih dalam mencari teman. Toh pada akhirnya pribadilah filter terakhir, merunut pada kata mutiara, jika ingin menilai seseorang maka lihatlah temannya. Entah apa yang bisa dilihat dari temannya, tapi pada kenyataannya, Randi tetap kukuh pada pribadinya. Dia tidak terkena pengaruh apapun yang diluar kehendaknya. Pada dasarnya, hanya bukulah teman sejatinya.

Randi adalah seorang mahasiswa filsafat yang sedang memasuki semester lima. Walaupun masih terbilang semester muda, namun karena pola pergaulan dan tongkrongan yang berbeda dengan mahasiswa lain, Randi punya pola pikir yang berbeda pula. Dalam hal buku bacaan, ia sudah membaca khatam buku-buku Marx sampai buku-buku Volvot. Dari filsafat alam, manusia, modern dan postmodern sudah dilahap habis. Hasilnya dia bertambah pintar dan punya jawaban untuk banyak pertanyaan. Walaupun, pada akhirnya selalu menimbulkan pertanyaan yang lebih banyak lagi.

Delusi-ilusi berangkat dari otaknya, matanya makin melotot. Jika tidak ada tikus yang memberikan sentakan pada kakinya, mungkin Randi sudah menjadi gila. Efek ilusi sepertinya sudah semakin parah. Tidak ada lagi yang bisa menolong kecuali Tuhan. Karena itulah yang sedang dicari Randi sesungguhnya. Sifat skeptis Randi sangat kuat. Semua hal yang bersifat fakta, belum tentu pasti dimatanya. Semuanya akan menjadi keraguan hingga ia membuktikannya juga. Sesuai dengan prinsip empirisme, walau siapapun orangnya, ketika ia melakukannya sesuai petunjuk, maka ia akan mendapatkan hasil yang sama. Begitu pula dengan agama. Tidak ada yang mempertanyakan Tuhan diantara semua teman Randi. Mereka hanya menjadikan Tuhan sebagai bahan gosip. Akan tetapi untuk mempertanyakan apakah Tuhan itu ada atau tidak sudah menjadi daerah terlarang untuk dimasuki. Randi memang orang yang nekat, ia langgar garis verbodden itu dan mulai mempertanyakan. Hingga akhirnya ia menemui pertanyaan yang tak ada habisnya. Otaknya selalu melayang, mencari cara kreatif untuk mengungkap misteri dan memunculkan fakta ke permukaan hingga jelas dimana Tuhan sesungguhnya.

Jam masih menunjukan pukul 9 dan belum jelas entah siang, entah malam. Suasana dalam kamar Randi tetap sama, apakah itu siang atau malam. Godaan dari luar pintu kembali memanggil Randi untuk mendekati. Kali ini lantunan lagu dangdut yang merayu. Syair lagu percintaannya mengingatkan Randi pada Ririen, seorang wanita yang dikenalnya di kampus dua. Hanya saja pertanyaan yang Randi simpan membuat Ririen menganggap Randi sudah gila. Hubungan mereka mulai renggang setelah itu. Semenjak itu pula Randi mulai mengurung diri di kamar. Dimana nyamuk-nyamuk mulai berpesta mengeksploitasi Randi dari mulai ujung kepala sampai ujung jempol kakinya. Randi sudah tidak peduli dengan prilaku nyamuk yang tidak manusiawi. Nyamuk-nyamuk merasa diuntungkan dengan tingkah Randi yang sudah mulai skizophrenik. Bak ilegal logging, nyamuk itu tidak perduli dengan tepukan tangan yang sudah tidak berdaya. Nyamuk-nyamuk juga tidak mengenal waktu kerja. Sesuka hati mereka menggigit Randi. Jika Randi dalam keadaan sadar dan mulai menegakkan tepukan-tepukan tangan, mereka melakukan diversi dengan mengerahkan barisan muda nyamuk. Hasilnya pun tidak diragukan lagi. Diversi itu berhasil dan membuat tangan menjauh dari ilegal logging yang sudah piawai dalam menghisap tanpa bunyi. Badan Randi semakin kurus tanpa asupan karbohidrat dan air. Badannya yang sekarang tinggal tulang masih saja menatap nanar cakrawala kamar, mencoba mencari Tuhan dalam imajinasi yang berbaur dengan siluet pengalamannya. Tak ada satu jawaban pun yang didapat. Pertanyaan itu justru melahirkan pertanyaan baru. Alisnya makin mengkerut mencoba terus mencari jawaban. Kembali ia berusaha berkonsentrasi dan entah kenapa ia tersenyum sambil tetap menatap nanar. Nyamuk-nyamuk yang berkeliaran pun bingung ketika Randi tersenyum, akan tetapi senyuman itu lalu diartikan legalitas oleh para nyamuk yang memang pada dasarnya adalah spekulan tangguh.

Keesokan harinya, aku melihat rumah kontrakan Randi dipenuhi orang. Dengar-dengar obrolan orang, Ibu kostnya memenemukan Randi sudah terkapar ketika ingin menagih uang kost-an. Aku baca koran keesokan harinya. Mayat Randi ditemukan dalam keadaan tersenyum. Di satu sisi aku bersedih Randi temanku telah meninggal, di sisi lain aku gembira karena Randi merdeka dan menemukan Tuhan yang dicarinya.

No comments:

Post a Comment