Saturday, September 15, 2007

--UkIrAn--

Sebuah cerita untuk anak berumur sepuluh tahun ke atas

Ukiran, nama kampung yang mirip dengan pekerjaan rata-rata penduduk kampung.di sinilah kampungku, tempat aku tinggal bersama orang tuaku dan kakekku. Dari seluruh keluargaku hanya kakekku yang masih mengukir. Memang bukan hanya keluargaku saja yang mulai meninggalkan usaha ukiran, rata-rata penduduk kampung sudah berganti menjadi petani. Mereka beralasan meninggalkan kerajinan ukir karena kayu jati sudah jarang apalagi kalau mencari kayu jati emas, seperti mencari harta karunnya kapten hook, hampir mustahil. Kakekku meski sudah tua ia tetap mengukir, ukirannya sangat bagus dan rapih. dia tidak lagi melakukannya sebagai usaha. Akan tetapi, melakukannya sebagai pemuas keinginannya untuk membuat karya. Pernah aku bertanya sekali pada kakekku ketika dia sedang asyik mengukir dengan kacamata bacanya. Lampu bohlam 75 watt menerangi langsung

“kakek, kakek tidak cape kek?”

“memangnya kamu pikir pekerjaan ini cape ndoo!, pekerjaan ini justru menghilangkan cape.” jawab kakek dengan lantang.

Entah kenapa hanya kakekku yang paling kusegani di rumah, selain ibu-bapakku tentunya. Aku tinggal bersama ibu-bapak, kakekku dan tiga orang kakakku di desa tinggaldewek kecamatan Ukiran sebelah utara kota Yogyakarta. Memang pada kenyataannya kampung manapun pasti sepi, belum masuk listrik dan penuh dengan cerita hantu. Tapi untungnya kampungku sudah sedikit ramai, listrik sudah masuk dan tentu saja udaranya masih sangat bersih. Pohon-pohon masih bertebaran di muka halaman rumah, aku masih bisa melihat tupai meloncat dari pohon ke pohon lalu lari di kabel listrik, lompatannya sangat energik. Sempat terpikir bagaimana caranya tupai itu tidak bisa terkena aliran listrik yang mengalir dalam kabel. Suatu kebetulan atau memang ada penjelasannya dalam pelajaran IPA (Ilmu Pengetahuan Alam).

Satu waktu ketika melihat mata kakekku saat dia menatapku ada yang lain dalam tatapannya seperti dia ingin menaruh harapan yang besar kepadaku. Harapan untuk meneruskan cita-citanya, harapan untuk melestarikan budayanya. Memang dari seluruh keluargaku yang mempunyai potensi paling besar meneruskan budaya mengukir adalah aku. Selain aku sudah menguasai teknik dasar mengukir aku juga sudah mengenal seluruh alat yang digunakan untuk mengukir, dan beberapa rahasia mengukir yang sudah diwariskan kakek kepadaku. Salah satunya adalah kayunya, seharusnya aku tidak boleh mengatakan ini kepada kalian tapi aku percaya kalian tidak akan membocorkannya kepada pengukir lain. Kayu yang dipakai untuk mengukir adalah kayu terbaik dari pohon jati emas yang sudah hidup puluhan tahun bahkan ratusan tahun yang lalu, selain lebih empuk, kayunya juga akan mudah untuk diukir.

Kakekku punya cara yang khas dalam mengukir dan belum bisa kutiru. Aku sangat senang melihat kakekku mengukir ketelitiannya, pengabdiannya, keikhlasan, dan rasa sayang yang dia curahkan pada bongkahan kayu membuat kayu itu menjadi sesuatu yang tidak ternilai ketika sudah terbentuk. Aku selalu tertawa ketika melihat kacamata kakekku pada waktu dia memahat, pantulan sinar bohlam yang kekuningan memantul di atas kacamatanya yang tebal, kacamata baca, silinder 3, rambut yang berponi tiga lembar sesekali rambut itupun jatuh tergerai di sela keringat yang deras menghujam alis mata. Sesekali kakek membuka kacamatanya dan menyeka keringat yang keluar.

Ini adalah hari minggu aku, hari libur yang dinanti setiap satu minggu sekali. Pada hari minggu biasanya aku selalu turut kakekku ke kota naik mobil antik. aku duduk di samping kakekku yang menyetir mobil. Melihat pemandangan sekitar. Hijaunya pohon, segarnya udara. Memang suasana pagi di desaku sangat segar. Walaupun aku melewati jalan ini setiap hari ketika menuju sekolah, akan tetapi sangat berbeda ketika bersama kakek naik mobil antiknya. Namanya mobil antik, larinya juga tidak terlalu kencang akan tetapi, pemandangan menjadi tak sia-sia untuk dinikmati.

Sejam perjalanan kami sudah sampai di kota di mana bermacam-macam barang bertebaran dan bertumpuk di dalam etalase dan diatas terpal. Tapi bukan itu tujuan kakekku ke pasar, tepatnya bukan di pasar, akan tetapi di belakang pasar. Kakek membawa hasil ukiran untuk seorang teman yang sudah memesannya dua minggu yang lalu. Rumah bercat coklat nampak di depan mata, kakek memencet belnya, keluarlah seorang pembantu.

“cari siapa pak!” tanya pembantu itu

“pak samsu ada di rumah? Kalau ada, bilang darli bawa ukirannya.”kakekku menjawab sambil tersenyum.

Pembantu itu masuk lagi ke dalam rumah. Tak lama kemudian muncul pria seumuran kakek dari dalam rumah dengan wajah tersenyum seperti sudah lama menantikan kakek. Aku menebak bahwa pria ini adalah pak samsu yang dikatakan kakek. Pintu pagar dibuka kami masuk ke dalam rumah bercat coklat. Kakek duduk menggobrol berdua sementara aku sibuk menghabiskan sirup yang disediakan oleh pembantu pak Samsu, rasanya enak, ada rasa jeruk, mangga, dan jambu. Rasa jambu kuhabiskan terlebih dulu. Jika ibu melihat tingkahku ini mungkin aku sudah dijewernya. Tingkahku kurang sopan. Tapi entah kenapa kakekku dan pak samsu seperti sudah wajar melihat tingkahku ini. Rupanya pembicaraan menjadi panjang tanpa terasa adzan dzuhur sudah menggema kakek dan pak samsu masuk kedalam mengambil wudhu di kamar mandi, begitupun aku. Pelajaran tentang sholat baru kudapat pada tahun ini. tahun depan aku akan naik ke kelas lima, walaupun umurku baru sebelas tahun akan tetapi aku sepertinya punya tanggung jawab yang lebih besar dari pada anak seumuranku.

Dalam perjalanan pulang kakek membelikanku seperangkat alat-alat pahat dan ukir untukku. Sepertinya perkiraanku benar. Kakek mengharapkanku menjadi seorang pengukir, meneruskan bakatnya, meneruskan cita-citanya. Tak lupa pula kakek membeli beberapa potong kayu jati emas. Harganya naik tiga kali lipat, penjualnya mengatakan bahwa pohon jati mulai langka akibat penebangan liar dan pembakaran hutan. Ada satu kerutan muka yang berbeda ketika kakek mendengar berita itu, seperti kekecewaan yang amat sangat.

Dalam perjalanan pulang kakek diam, aku jadi penasaran. Tidak biasanya kakek seperti itu, sampai setengah perjalanan kakek mengeluarkan sepatah kata.

“seharusnya tidak begitu! Warga kita pengukir, tidak seharusnya jati langka disini.”

Aku hanya diam saja ketika kakek mengatakan itu, sepertinya ungkapan itu tidak membutuhkan tanggapan. Hanya sebaris kalimat itu yang dikatakan kakek sepanjang perjalanan pulang, hanya sekali.

Kakek hanya memiliki tiga bongkah kayu jati emas, Biasanya kakek bisa memiliki 15 bongkah kayu jati emas. Malam ini kakek termenung di beranda rumah. Matanya jelas menatap bintang dan disampingnya nampak segelas kopi panas.

“belum tidur ndoo?” tanyanya

kakekku rupanya mendengar langkahku mendekati pintu rumah. Dari situ jelas terlihat beranda. Dengan sedikit terburu aku melangkah mendekati kakek.

“kakek belum tidur?” aku membalas pertanyaannya dengan pertanyaan lagi

“belum!” jawab kakek.

Pada akhirnya kami hanya terdiam, memandang bintang berkelap-kelip, mendengar jangkrik bernyanyi, mendengar alam yang sunyi dan merasakan angin yang berhembus. Dalam kesunyian malam aku tertidur di bahu kakek. Kurasakan kehangatan. Kurasakan kasih-sayang.

Pagi harinya aku terbangun di ranjangku, rupanya kakek memindahkanku. Sinar matahari pagi sudah menyengat. Tak terasa aku terlelap hingga kesiangan. Ayam-ayam sudah dikeluarkan. Hari ini adalah jadwalku masuk kelas. Untungnya aku masuk siang. Sarapan pagi sudah disiapkan oleh ibu di atas meja makan, makan siangkupun sudah siap dalam tempat makan. Ibu selalu berpesan agar jangan jajan sembarangan, nanti sakit perut. Memang pernah satu waktu aku jajan makanan kecil dan es di depan sekolah. Sepulang sekolah perutku langsung merasa tidak enak dan buang air besar berulang kali. Untungnya ibuku punya resep mujarab untuk sakit perut. Hasilnya, tiga hari aku tidak masuk kelas dan harus tidur di tempat tidur dan bolak-balik ke wc. Ternyata memang lebih baik ditabung dari pada jajan.

Di sekolah aku dan teman-teman mendapat pelajaran mengenai hutan hujan tropis. Indonesia dengan iklim tropis tentu saja mempunyai hutan hujan tropis. Di hutan itu terdapat bermacam-macam flora dan fauna yang memang habitatnya di sana. Dunia ini juga seperti manusia, memiliki paru-paru dan paru-parunya adalah hutan. Ketika pabrik dan mobil sudah banyak di bumi maka hutanlah yang diharapkan untuk bisa membersihkan polusi udara yang terjadi. Sebagaimana yang dijelaskan dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) kalau pohon itu, melakukan proses yang dinamakan fotosintesis. proses ini dilakukan pohon seperti ketika kita bernafas. Ketika fotosintesis terjadi dia akan mengeluarkan oksigen (O2) dan sebagai bahan bakunya pohon membutuhkan karbondioksida (CO2). Dalam diri manusia justru sebaliknya ketika bernafas membutuhkan oksigen dan mengeluarkan karbondioksida.

Aku sangat tertarik pada tumbuh-tumbuhan. Memang ketertarikanku ini menyebabkan nilai Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) lebih tinggi dibandingkan dengan kawanku yang lain. Selain IPA aku juga tertarik dengan pelajaran matematika dan IPS, tapi herannya justru pelajaran IPA yang seringkali mendapat nilai sempurna, hal ini tidak pernah diduga-duga.

Dalam perjalanan ke sekolah aku berpapasan dengan teman satu kelasku, dia adalah teman sebangkuku. Orang-orang mengatakan dia aneh, sebab temanku ini memiliki sedikit kelainan dan teman-temanku yang lain enggan berteman dengannya. Andri, dengan nama itulah aku sering memanggil dia walaupun bukan nama aslinya, hanya panggilan akrab. Nama panjangnya sebenarnya lebih bagus dan penuh makna Septiandri Ramadhan. Walaupun agak sedikit aneh, sebenarnya Andri pintar. Aku seringkali belajar dengannya ketika dalam pelajaran ada hal yang belum kumengerti. Lagipula ibu selalu mengatakan, berteman itu tidak boleh pilih-pilih.

Sekolah hari ini sama dengan sekolah kemarin, hanya mata pelajarannya saja yang berbeda. Jarak dari rumah ke sekolah kira-kira lima kilo. Aku harus berangkat pagi sekali. Bahkan sendirian aku berjalan, karena yang sekolah di SD ini hanya aku seseorang. Entah kenapa anak seumuranku lebih memilih untuk tidak sekolah. Apakah mereka menganggap sekolah itu tidak penting, atau bayaran sekolah begitu mahal.

Sepulang sekolah aku tidak langsung pulang. Aku selalu menyempatkan diri untuk duduk di atas bukit. Dari situ aku bisa melihat atap rumahku. Bukit tempatku biasa berdiri. Anginnya terasa begitu menyegarkan dan membuat hari terasa bersemangat.

Luas desaku memang tidak terlalu luas akan tetapi aku sangat bersyukur. Karena aku memiliki desa yang paling indah. Desaku dilewati sebuah sungai. Memang sungainya tidak terlalu besar. Tapi cukup untuk mengairi seluruh sawah yang ada di kampung tinggaldewek. Tadinya sungai itu sangat indah melewati padang rumput. Akan tetapi, penduduk yang pindah mata pencariannya menjadi seorang petani memilih daerah dekat dengan sungai, untuk memudahkan pengairan. Banyaknya penduduk yang mengganti mata pencarian menjadi seorang petani membuat sungai itu menjadi bermacam aliran. Begitu banyak sawah yang harus dialiri, ada saja warga yang marah ketika aliran sungai ke sawahnya kecil akibat aliran dari sawah sebelah ter-urug tanah. Aku pernah mendapat pelajaran ketika caturwulan ke satu pada mata pelajaran IPA, sistem pengairan paling bagus adalah sistem pengairan model subak, seperti di bali. Akan tetapi kalau tidak bisa ya harus menggunakan sistem tadah hujan dan bendung. Walaupun begitu aku tetap suka duduk di atas bukit. Pemandangannya memang berubah akan tetapi tetap aku bisa nikmati. Selain itu ada rutinitas pengukir yang sekarang ini berubah menjadi petani. Mereka harus membuat orang-orangan sawah dan menggantung kaleng-kaleng yang sudah diisi batu. Kaleng-kaleng itu nantinya ditarik dengan tali sehingga menimbulkan bunyi yang berisik. Pada pukul sepuluh sampai kira-kira pukul empat sore hari, biasanya banyak burung yang ingin memakan padi di sawah. Tentunya bunyi berisik dari kaleng yang digantung dan diikatkan ke seluruh sawah akan sangat membantu mengusir burung-burung. Karena burung-burung tidak mungkin sendirian ketika menyerang sawah, gerombolan burung-burung itu pun sekarang menjadi pemandangan yang kunikmati.

Hal paling baru yang paling kunikmati adalah ketika panen tiba. Semua penduduk akan keluar dan mengadakan pesta. Ketika padi menguning dan menjuntai karena ranumnya biji-biji padi yang menggantung. Ketika itu pula pesta ini berlangsung semua bergembira baik pengukir maupun petani. Tak ada pertengkaran walaupun pengukir merasa petani baru ini mengkhianati pekerjaan leluhur, karena dari dulu desa ini adalah desa pengukir. Namun semua itu hilang, tak ada perasaan benci. Semua bergembira.

Kadang ketika datang saatnya berpesta, semuanya akan turun tangan membantu ada yang memasak di dapur, ada yang menghias lapangan, ada yang menyiapkan penampilan. Semuanya sibuk. Bahkan yang tidak punya kesibukan, sibuk memikirkan malam nanti harus pakai baju apa. Tapi yang paling sibuk diantara yang paling sibuk adalah pak Rt yang harus menyiapkan sambutan untuk nanti malam.

Pak Rt adalah orang paling disegani di kampung. Bukan karena dia paling kaya, akan tetapi karena dia paling bijak dalam mengambil keputusan. Karena jabatan bapak Rt merupakan jabatan yang sangat tinggi di desa, pernah ketika pemilihan bapak Rt baru, orang paling kaya di desaku mencoba membeli suara para warga. Tentu saja, walaupun warga kami kebanyakan pengukir dan petani. Bukan berarti kami bodoh, uangnya kami ambil tapi dalam memilih tentu saja kami pilih yang paling bijak dan hal itu jatuh kepada pak Amri, bapak Rt yang sekarang.

Bapak Amri masih terlihat bingung padahal hari sudah menjelang magrib. Kudekati pak Amri, duduk disampingnya.

“pak Amri kok bingung, bukannya harusnya gembira pak!” kucoba berbicara.

Pak Amri diam dan merasa risih dengan kehadiranku yang merasakan kebingungannya. Dia berjalan, arahnya menuju rumah. Mungkin dia mau mandi sore terlebih dahulu. Aku tetap percaya kalau pak Amir akan mendapatkan kata sambutan yang bagus. Karena memang dialah yang paling bijak di kampung ini.

Acara sebentar lagi akan berlangsung semua orang di desa sudah berkumpul di lapangan aku liat si Andri anak tetangga, dia bersama bapaknya pak Shomad dan si Ujang juga bersama bapaknya pak Nandar. Semuanya sudah keluar hanya pak Rt yang belum terlihat batang hidungnya. Ketika acara harus dimulai muncullah pak Rt, semua orang bersorak-sorai. Acara pun berjalan sesuai rencana. Mas Uddin membuka acara dengan sari tilawah, suara mas uddin bagus. Dilanjutkan dengan sambutan dari bapak Rt. Inilah yang kutunggu, kulihat yang lain pun sepertinya sangat menunggu wejangan dari bapak Rt selanjutnya.

Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh

senang sekali rasanya bisa berkumpul dengan seluruh warga desa. Yang tentunya malam ini kita tidak akan bersedih. Kita akan bergembira. Tapi walaupun kita bergembira, ya jangan berlebihan to. Yang sedang-sedang saja, masalahnya hari yang bergembira ini bukanlah akhir dari hidup kita. Kita harus terus berjuang, bekerja, silaturahmi, ibadah, berbenah dan macam-macamnya.

Selain itu kita juga tetap harus menjaga kerukunan, saling bantu, karena kalau kita tidak saling bantu, siapa lagi to. Mikul banyu nganggo pikul, ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.

Tapi semua himbauan ini walaupun harus diambil serius dan memang sangat serius, tetap tidak boleh menghapuskan kegembiraan kita malam ini. Selamat menikmati dan selamat bergembira.

Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Sambutan bapak Rt sungguh sangat menyentuh, semua bergembira. Hingga esok hari. Kegembiraan ini masih terus terasa.

Ada satu hutan yang sangat angker di sebelah barat desaku. Namanya hutan Cengkrik. Ketika matahari tenggelam dan kita melihat ke arah barat dari desaku akan terasa keangkeran yang sangat dalam dari hutan itu. Ibuku pernah bercerita, katanya waktu aku berumur empat tahun, aku pernah tersesat di hutan Cengkrik. Ketika aku bermain bersama si Andri dan si Ujang. Tiga hari aku menghilang di dalam hutan. Akan tetapi, aku ditemukan dekat dengan sungai yang sekarang menghidupi seluruh sawah di desaku. Tapi herannya, aku tidak dapat mengingat apa yang terjadi selama tiga hari dalam hutan Cengkrik. Konon kata kakek, hutan itu akan selalu dijaga oleh juru kunci yang bukan manusia. Dia berteman dengan panglima Kumbang, dan kau telah mempunyai hubungan yang khusus dengan juru kunci hutan itu. Dalam hutan itu juga banyak pohon yang berumur ratusan tahun. Pohon yang sangat diidamkan semua pengukir, menurut kakek pohon itu bisa diambil hanya saja setelah melalui beberapa syarat, dan syarat ini jarang sekali yang tahu itulah sebabnya para pengukir dari desa lain yang nekat tidak memenuhi syarat banyak yang tidak kembali. Syarat-syaratnya adalah :

* Puasa senin-kamis selama satu bulan.
* Hari puasa pertama harus menanam 10 pohon yang sudah 2 bulan di dalam hutan.
* Hari terakhir puasa harus menanam kembali 10 pohon yang umurnya 3 bulan di pinggir hutan.
* Pohon yang ingin di tebang harus di ikat kain terlebih dahulu dan harus memakai alat tebang tradisional.

Syaratnya cukup gampang. Tapi kebanyakan pengukir yang sudah menganggap ini jaman modern tidak boleh percaya sama yang begituan bandel dan tebang sana tebang sini. Sampai saat ini tidak ada yang tahu bagaimana kabar dari para pengukir bandel itu. Memang hanya hutan Cengkrik yang masih tergolong lebat selebihnya sudah mulai gundul, ada yang oleh penebang liar, penebang legal, dan bencana alam. Sepertinya kakek juga punya hubungan yang erat dengan hutan itu. Tapi aku tidak tahu sekuat apa, dan kenapa kakek bilang aku punya hubungan yang khusus dengan hutan itu. Ketika aku mengingat kata itu kepalaku berubah menjadi pusing. Pada akhirnya aku selalu menghindarinya, memikirkan hutan itu.

No comments:

Post a Comment