Minggu ini kami kelas 5 akan bertamasya ke ke hutan, untuk melakukan observasi pelajaran Biologi. Tamasya itu akan dilaksanakan hari Jum’at jam 09.00 pagi. Bapak guru memberitahukan apa saja yang harus dibawa untuk perjalanan besok.
“setiap anak harus membawa :
Lembar kerja siswa.
Peralatan tulis.
Papan berjalan.
Kaca Pembesar.
Botol Pembungkus, bisa juga kantong plastik bening.
Pipet.
Buku biologi
Air minum pribadi.
Makan siang pribadi.
Makanan kecil.
dan lotion anti nyamuk.” Ucap Pak Guru di depan kelas
setelah dibacakan pak guru menuliskannya kembali di papan tulis. Aku dan teman-teman menyalinnya juga di dalam buku. Pak guru pernah mengatakan, kalau belajar agar tidak cepat lupa sebaiknya dicatat, Bel sekolah berdentang. Tanda waktu belajar di sekolah telah habis. Pak guru mengucapkan salam dan mengingatkan agar jangan ada yang terlupakan besok. Pak guru termenung sebentar.
“besok datangnya agak lebih pagi ya, kita kumpul dulu sebentar untuk membicarakan cara observasi di hutan nanti.” Dengan nada khawatir, pak guru mengucapkannya.
Teman-teman yang sedang membereskan buku sudah tidak lagi memperhatikan pak guru. Keinginan mereka hanyalah pulang, karena memang jam di sekolah sudah habis. Dalam suasana yang suka ria, aku dan teman-teman keluar kelas sambil membicarakan acara besok, yang pada intinya adalah jalan-jalan.
Aku tidak punya teman satu perjalanan karena memang yang tinggal di desa tinggal dewek hanya aku seorang. Dalam perjalanan pulang aku selalu merenung kadang berkhayal.
Aku terbang di udara melayang seperti gatot kaca. Menembus awan, menumpas kejahatan. Aku akan melawan penjahat yang menebangi hutan. Mungkin agak aneh, kenapa harus penjahat hutan yang kutumpas padahal masih banyak penjahat model lain. Aku ingin membuat kakek senang, dengan hutan yang lestari tentu banyak jati bisa tumbuh. Kakekpun tak mesti bersusah payah lagi mencari jati.
Tak terasa aku sudah sampai di depan rumah. Entah kenapa, badan terasa sangat lelah. Setelah mencium tangan ibu aku tak sempat menegur siapapun, makan siangpun tak kusentuh. Yang kuinginkan hanya merebahkan badan di kasur empuk.
Ah. Ternyata memang nikmat berbaring di kasur. Pandangan mataku lurus ke depan di mana jam dinding bertengger. Jarum detiknya membalap jarum jam. Berulang kali. Mataku mulai terasa berat.
***
Tiba-tiba aku terbangun entah dimana, sejauh mata memandang hanya ada gumpalan asap putih seperti awan. Akupun bangun diatas gumpalan itu, dari celah gumpalan itu aku melihat di bawah sana seperti lautan. Kutarik napasku perlahan, dan coba untuk menenangkan diri. Bajukupun bukan baju sekolah lagi. Bajuku adalah baju gatot kaca, tak ketinggalan mahkotanya. Kalau memang begitu berarti.... berarti aku bisa terbang?
Kucoba mengibaskan selendang yang sudah terberai di pinggang. Sedikit sedikit badanku mulai melayang. Ternyata aku bisa terbang. Huaaaaa
“aku bisa terbang!!!” teriakanku membahana ke seluruh angkasa.
Seluruh alam seperti dalam genggaman, aku terbang ke sana ke mari, tak ada yang jadi penghalang. Angin menelusup melalui pori-pori kulit. Entah dari mana aku mendengar teriakan minta tolong. Badanku secara otomatis terbang ke arah suara itu. Di sana ada seorang ibu-ibu yang dirampok. Perampoknya lari ke arah utara. Dengan mudah aku mengejar perampok itu, ada tujuh orang, badannya besar-besar, kumisnya melintang dan membawa senjata tajam.
“berhenti!” teriakku
para perampok itu diam seketika dan melihat ke arahku, mereka diam kemudian tertawa dengan kencang.
“ada pahlawan, gatot kaca rupanya!” ucap salah seorang diantara mereka sambil tertawa.
“gatot kaca apa orang gila mas!” balas perampok yang membawa celurit.
“woi anak kecil, mau ane cekek ente!” seorang perampok maju sambil mengayunkan goloknya.
Entah kenapa aku tidak berusaha menghindar. Golok yang panjang itu menghujam keras ke kulitku yang terbuka.
Tanpa disangka, golok itu berhamburan seperti terkena benda keras. Ternyata memang aku memiliki seluruh kekuatan Gatot kaca yang sakti mandra guna, otot kawat tulang besi.
Para perampok itu terheran – heran ketika melihat kejadian itu. Saking herannya tanpa pikir panjang mereka langsung kabur. Dengan sigap aku menangkap tangan perampok yang memegang tas dan merebutnya.
Sampai ke pasar, ibu itu masih menangis memikirkan bagaimana nasib tasnya. Para pedagang di pasar sudah tidak memperdulikan ibu itu lagi dan kembali sibuk dengan dagangannya.
Raut muka ibu itu berubah ketika melihat aku datang dengan tasnya. Ibu itu berlari dan memeluk diriku erat, sambil menangis bahagia tentunya. Tangisan kesedihan sudah berubah menjadi tangisan kebahagiaan.
“terima kasih banyak ya nak, di dalamnya ada uang untuk bayaran anak saya.” Ucap ibu itu sambil terisak.
“iya ini tas ibu, mudah-mudahan isinya tidak kurang sedikitpun.”
“oh iya nak, mampir dulu ya kerumah ibu” sambil menarik lenganku
“makan siang, belum makan kan!”
aku tidak bisa menolak ajakan ibu itu. Ajakannya sangat memaksa. Tidak jauh berjalan dari pasar, kami sampai di sebuah rumah besar. Catnya berwarna hijau dan pagarnya terbuat dari besi. Sehingga orang normal, pasti sangat sulit menjebolnya. Aku hanya bisa mengikuti ibu itu dari belakang ketika dia masuk ke dalam rumah. Bel ditekan dan kami disambut dengan seorang bibi yang sepertinya pembantu rumah tangga di rumah itu. Aku dipersilahkan untuk duduk dulu sebentar sambil menunggu makan siang disiapkan. Dari luar aku mendengar ibu itu menceritakan kejadian di pasar. Entah pada siapa? Tak berapa lama keluar seorang perempuan. Dewi sepertinya, parasnya sangat cantik. Kulitnya putih, hidungnya tidak begitu mancung namun tertata rapi di atas muka yang indah. matanya, Persis seperti ibuku. Kuyakin mimik mukaku berubah ketika dia datang dengan wajah yang menyebarkan aroma kenyamanan.
Dia duduk di depanku, mata bulatnya menerawang seakan mengucapkan terima kasih. Setelah makan siang, aku izin pamit dan berpesan kepada ibu itu untuk lebih berhati-hati juga tidak tampil mencolok untuk menghindari kejahatan.
Aku kembali duduk di awan. Mendengar dari atas kabar dunia, hingga terdengar suara deru gergaji.
Selendang kukibaskan, menuju arah suara gergaji itu. Dari atas kuperhatikan para penebang liar dengan santainya memotong pohon di hutan dengan gergaji mesin yang besar. Tiga pohon sekali tumbang. Diantara para penebang liar itu ada yang membawa senjata api. Badan mereka besar-besar menyerupai beruang. Tapi aku yakin mereka hanyalah kaki tangan, ada lagi yang menjadi dalang dari penebangan hutan ini. Bagaimana tidak, tiap hari aku melihat banyak penebang liar yang ditangkap oleh polisi di televisi. Akan tetapi, tetap saja masih banyak penebangan tejadi. Kalo hal ini belum dicabut sampai akarnya, pasti akan terus tumbuh.
Aku tidak langsung beraksi dengan kekuatan istimewa yang ku punya sekarang. Akan tetapi aku menunggu waktu yang tepat, sampai terlihat bos sesungguhya. Memang hal yang paling membosankan adalah menunggu. Akan tetapi, aku harus sabar untuk menangkap ikan paling besar.
Sampai sore para penebang itu masih beristirahat. Tertawa, mandi, merokok dan hal lain yang bisa dilakukan pada waktu istirahat. Hingga pada pukul lima, ketika matahari mulai malu karena bulan telah datang. Para penebang liar itu mengangkat gelondongan kayu ke dalam truk satu persatu. Tidak ada alat yang sangat modern dan canggih, hanya alat sederhana. Akan tetapi, sepertinya memang mereka sangat profesional dalam mengerjakannya seperti sudah terbiasa dan terlatih. Tangan-tangan mereka yang besar memakai sarung tangan dari kulit, warnanya coklat tua dan sepertinya sangat tebal. Mereka bekerja sama, sangat sejalan dan seirama dalam melemparkan, membersihkan dan membungkus kayu. Dari jauh kuhitung sudah tiga truk yang penuh dengan kayu gelondongan. Tak ada sinar dinyalakan, yang ada hanya senter-senter yang bertebaran. Sepertinya, ini dijadikan tanda untuk memperlancar perjalanan. Jarak dari hutan ke perbatasan hampir 1 jam jika ditempuh dengan kecepatan 60 Km/pH. Aku dengan mudah membuntuti mereka dari atas. Sepanjang perjalan ke perbatasan kota, tak ada satupun mobil truk itu yang menyalakan lampu mereka justru melambat. Perbatasan kota memang daerah yang dijaga ketat. Apalagi di daerah hutan lindung, banyak sekali posnya. Dari jauh seseorang dalam truk itu menyalakan senter dan mengarahkannya ke pos penjaga perbatasan, seperti semacam tanda.
“klik, klik, klik...” senter itu dikedipkan tiga kali.
Tak berapa lama kemudian, orang dalam pos itu menyalakan senter dan mengarahkannya kembali ke arah truk yang ternyata berhenti untuk menunggu sinyal dari pos.
Truk-truk itu kembali berjalan. Ketika berpapasan dengan pos truk terdepan memberikan sebuah paket berwarna hitam kepada penjaga pos dan dengan santainya ketiga truk itu melaju. Di pos selanjutnya, kejadian itu terulang lagi. Begitu juga di pos selanjutnya. Sepertinya ini sudah merupakan kebiasaan yang sering terjadi. Ke tiga mobil truk itu sudah melewati batas kota dan berjalan dengan aman hingga sampai ke sebuah gudang besar. Gudang itu begitu tertutup, di dalamnya terdapat mobil besar yang lebih tertutup dari pada mobil truk yang tadi. Di dalam sana juga ada seseorang yang berpakaian rapih dan mengenakan jas hitam rapih. Sepatunya mengkilat dan mengenakan kaca mata hitam. Namun, wajahnya seperti sangat kukenal. Kuperhatikan lebih seksama, tidak mungkin, tidak mungkin itu dia. Kakekku....
“aaaaaaaaa...”aku berteriak sekerasnya.
Kutemukan diriku tersadar di tempat tidurku, masih mengenakan pakaian sekolah. Dalam hatiku hal tadi merupakan mimpi yang sangat menyeramkan, tapi sekaligus mimpi yang sangat menyenangkan.
Keluar dari kamar aku langsung ke dapur, minum segelas air putih dan duduk termenung kenapa bisa gatot kaca muncul dalam mimpiku. Memang aku pernah diceritakan cerita gatot kaca oleh kakekku. Sebuah kisah pewayangan.
Gatot kaca
Gatot kaca adalah anak dari Bima, ia mempunya kemampuan untuk terbang di angkasa dan sangat sakti mandra guna. Kekuatannya itu banyak membunuh pejuang kurawa dan mempunyai pasukan raksasa dari kerajaannya, Pringgodani. Yang pada waktu itu Pandawa dan Kurawa sedang terlibat konflik.
Duryudana sangat khawatir melihat kekuatan gatot kaca dan pasukannya. Dia menugaskan Karna untuk membunuh Gatot kaca secepatnya. Bila tidak berhasil maka Karna dan anak buahnya akan dihukum mati
Karna pun mulai melakukan usaha untuk membunuh Gatot kaca yang pada saat itu sedang sibuk bertempur dengan Arjuna. Hanya dia di antara prajurit kurawa yang memiliki panah setipis rambut. Nama panahnya kunto wijaya danu. Tiba-tiba Karna mendengar kilat dan melihat awan hitam yang berarak. Karna tahu bahwa itu adalah ulah Gatot kaca. Karna menembakan panahnya ke awan itu melewati wajah arjuna.
Ketika Gatot kaca lahir rambutnya tidak bisa dipotong oleh pisau. Pada akhirnya orang pintar menyarankan. Rambutnya harus dipotong oleh mata panah kunto. Tapi ketika panah dilepas panah kunto tidak sanggup mengenai gatot kaca akan tetapi herannya panah itu berhasil mendarat di perut gatot kaca. Takdir yang menentukan bahwa ketika panah kunto dilepas maka gatot kaca harus mati. Sewaktu muda dulu, gatot kaca telah membunuh pamannya Kalabendana, seorang raksasa. Kalabendana pun menunggu waktu yang tepat untuk membalas dendam. Dia tau kalau takdir kematian Gatot kaca adalah ketika Bharatayuda. Tembakan Karna yang sebenarnya tidak mengenai sasaran dan tidak mampu mengejar Gatot kaca dengan cepat kelangit, lalu dengan cepat roh Kalabendana memegang Kunto dan memberitahunya
“ kamu harus kejar kembali dan aku akan membantumu!” ujar Kalabendana
Kunto berhasil mengenai Gatot kaca dan roh Gatot kaca bersama kalabendana kembali damai dalam keabadian.
Kira-kira itulah sepotong cerita yang aku ingat ketika kakek bercerita. Memang banyak yang aku lupa dari cerita itu. Tiba-tiba aku teringat kembali dengan tamasya di sekolah. Aku belum menyiapkan peralatan. Untung saja aku ingat. Toko untuk membeli peralatan sebentar lagi akan tutup.
Setelah semua komplit akhirnya aku menenangkan diri dan coba mencari tau dari buku tentang tempat tamasyaku besok, hutan.
No comments:
Post a Comment